Menelusuri Jejak SM Kartosuwiryo
Dalam
sejarah politik nasional, nama S.M. Kartosuwiryo diguratkan dengan tinta agak
gelap. Bahkan ia diidentikkan dengan gambar kelam yang ada kalanya bernuansa
mistis. Buku-buku sejarah nasional memosisikan Kartosuwiryo sebagai orang yang
“bermimpi’ mendirikan negara baru. Hal ini berlangsung hingga sekarang
Padahal Kartosuwiryo
bukanlah tokoh yang garang atau misterius. Ia lahir dari keluarga yang jelas.
Begitu juga pendidikan formal, profesi, dan keterkait-annya dengan tokoh-tokoh
nasional seperti Abikusno, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Agus Salim, H.O.S.
Cokroaminoto, dan bahkan Soekarno.
Gambaran kelam soal
Kartosuwiryo ini, muncul dari situasi yang disemaikan pemerintahan Soekarno.
Sebab utamanya karena Soekarno yang berpaham komunis merasa terancam
kedudukannya. Maka dia mencari dukungan dengan memperalat umat Islam untuk
menghadapi saudaranya sesama muslim dalam Negara Islam Indonesia
(NII).Konspirasi Soekarno dengan ulama NU sehingga ia menerima julukan
“waliyyul amri ad-dharuri bisy-syaukah”, juga merupakan rekayasa Soekarno untuk
meredam kecenderungan masyarakat kepada konsep negara Kartosuwiryo.
Untuk memenuhi syarat
sebagai “waliyyul amri”, Bung Karno mendirikan masjid Baiturrahim di Istana
Negara. Prakteknya, masjid itu didirikan sebagai simbol semata agar rakyat
menilainya sebagai pemimpin yang taat menjalankan ajaran-ajaran Islam
Sikap permusuhan terhadap Islamisme seperti itu terus berkembang dan
meluas, tidak saja di kalangan sipil tapi juga di lingkungan Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal
5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang ulama karismatik yang
memproklamirkan Negara Islam Indonesia
(NII) di Tasikmalaya pada tahun 1949.
Jakarta
– Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo demikian nama lengkap dari Kartosoewiryo,
dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota
kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur
dengan Jawa Tengah. Kota
Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah
bertemu dalam suatu garis budaya yang unik. Ayahnya, yang bernama Kartosuwiryo
bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di
kota kecil Pamotan, dekat Rembang.
Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan
Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewiryo, mempunyai
kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan
pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosuwiryo,
pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin
mapannya “gerakan pencerahan Indonesia”
ketika itu, Kartosuwiryo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem
rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana
politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan
suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya
mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai
seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta
pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki
yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk
berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan
organisasi, saat itu Kartosuwiryo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK
(Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah “kelas dua” untuk kaum
Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika
orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah
ELS (Europeesche Lagere School).
Bagi seorang putra “pribumi”, HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan
kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa
masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa
dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosuwiryo
mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang
menjadi “guru” agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti
Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan
banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosuwiryo
Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosuwiryobersikap dalam
merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut
sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS,
Kartosoewirjo pergi ke Surabaya
melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah
Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat
dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di
Surabaya.
Selama kuliah Kartosuwiryo mulai berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai “mengaji” secara serius. Saking seriusnya,
ia kemudian begitu “terasuki” oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi
Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata
dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas
kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh
sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari
berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit
itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah
pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto
banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun
kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik,
dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari
pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup
terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya
karena “terasuki” ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh “komunis” karena memang
ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal
ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah
mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki
kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia
adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita
pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas Kartosuwiryo
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, “Sumpah Pemuda”.
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, “Sumpah Pemuda”.
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij
Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosuwiryo pun bekerja sebagai wartawan di
koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi
reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22
tahun,Kartosuwiryo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam
kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang
isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun
penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke
Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal
bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi
Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April
tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga
yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya
pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah
pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia,
Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk
sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia) di
bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis
Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan
kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak
memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka
pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di
Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang
utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti
Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan
Jepang di Indonesia, Kartosuwiryo yang disertai tentara Hizbullah berada di
Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia
mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam,
merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah
memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya
ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad
Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar
“sekuler”-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus
1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan
berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak
itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir
70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya
pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena
kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka
pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara
Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda,
apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik
dengan Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan
senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus
mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi
Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah
yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus
ditarik mundur –atau “kabur” dalam istilah orang-orang DI– ke Jawa Tengah.
Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi
Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut “kaburnya” TNI
ini dengan memakai istilah Islam, “hijrah”. Dengan sebutan ini dia menipu jutaan
rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan
Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat,
menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna
“hijrah” itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan
politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan,
maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah
negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul
Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh
masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut
para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah
yang tegang.” Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah
“pemberontakan”. Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah “pemberontakan”,
maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan
suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini.
“Pemberontakan” bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang
Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan
yang bersifat regional, bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau
kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi”
yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosuwiryo selama 13 tahun
pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur
l962, menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara
Islam Indonesia
itu adalah sebuah “pemberontakan”. Hukuman mati kemudian diberikan kepada
mujahid Kartosuwiryo
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno
dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang
bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat. Maka mereka dengan segala
konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana
jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Sekali pun jasad beliau telah tiada dan berusaha dikubur
jejaknya oleh pemerintahan Soekarno maupun Soeharto, kini sejarah itu terkuak
setelah Fadli Zon membeberkan sejarahnya melalui buku yang berjudul ‘Hari
Terakhir Kartosoewirjo’. [KbrNet/Capunk]
0 comments:
Post a Comment